Saturday, April 18, 2009

JOGJA DAN PLURALISME


Begitu mendengar nama satu kota ini, langsung terlintas di benak kita sebagai kota pelajar dan kota budaya. Memang tidak salah anggapan tersebut tentang Kota Jogja. Sejak jaman perjuangan pun kota ini sudah memegang peranan penting sebagai pusat pemerintahan setelah Kota Jakarta. Di era setelah kemerdekaan, Kota Jogja merupakan pusat pengembangan pendidikan di Indonesia, hingga sampai saat ini julukan kota pelajar disandang oleh kota ini. Dengan keberadaan kraton dan daerah-daerah prasejarah lainnya, Jogja juga menjadi daerah tujuan wisata para turis lokal maupun manca.

Dengan berbagai peran tersebut, kota Jogja menjadi tempat tujuan berbagai masyarakat dari lain wilayah, baik para pelajar yang menuntut ilmu di Jogja ataupun para wisatawan, sehingga pertemuan antara masyarakat lokal asli Jogja dengan para pendatang menghasilkan suatu akulturasi budaya. Maka, Jogja yang notabene merupakan kota kecil dapat dijadikan sebagai contoh miniatur Indonesia cerminan simbol bhineka tunggal ika karena terdapat berbagai individu yang berasal dari kebudayaan yang berbeda dalam satu wadah.

Pluralitas di Jogja, khususnya dalam kebudayaan harus dipandang sebagai hal positif untuk mewujudkan masyarakat yang maju dan berkembang. Pengejawantahan pluralitas di Jogja berakar dari filosofi masyarakat Jawa yang memupuk rasa ketuhanan dan membangun rasa kemanusiaan bukan rasa keagamaan. Jika aspek tersebut disadari, maka hubungan antar masyarakat akan harmoni. Dari situ sikap saling menghargai komunitas, etnik dan religiusitas satu dengan yang lain dapat ditumbuhkan.

Dilihat dari masyarakatnya saja, Jogja terkesan masih sangat memegang aturan-aturan adat, seperti halnya terlihat keberadaan kraton yang masih exist. Budaya masyarakat Jogja sebagai orang Jawa pada kenyataannya memang masih terikat dengan aturan-aturan adat yang mungkin bagi para pendatang hal itu terkesan kuno. Namun, justru dengan berpegang dan melestarikan pada aturan adat Jawa, masyarakat Jogja dapat menerima perbedaan budaya dari luar yang dibawa oleh para pendatang. Hal itu dikarenakan oleh prinsip dasar orang Jawa yang tidak serta merta bersikap etnosentrisme.

Keberadaan Kraton di tengah-tengah arus globalisasi merupakan lambang pemersatu yang dapat menerima secara terbuka kebudayaan dari luar. Dengan prinsip semangat berdasarkan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dan Hamangku-Hamengku-hamengkoni, Sultan sebagai lambang pemimpin kultural Jogja dapat mengayomi baik itu masyarakatnya sendiri maupun para pendatang. Sehingga dengan berbagai keberagaman yang ada, ketentraman dan rasa kesatuan sebagai masyarakat Jogja tetap terjaga.

Oleh karena itu, untuk tetap menjaga identitas Kota Jogja sebagai kota budaya yang tetap exist dalam pluralitas, masyarakat harus tetap melestarikan kebudayaan yang merupakan aset Kota Jogja, jangan sampai masyarakat Jogja justru kehilangan budayanya, mengingat pepatah “orang jawa jangan sampai hilang jawanya”. Selain itu, bersikap terbuka dan bersedia berakulturasi dengan budaya lain juga sangat diperlukan untuk menjalin suatu komunikasi yang harmonis dengan para pendatang.

Sikap ramah tamah yang sudah menjadi ciri khas masyarakat Jogja dapat dijadikan sebagai modal utama rasa saling menghargai dengan para pendatang. Pengenalan kebudayaan lokal kepada para pendatang dengan mengenyampingkan etnosentrisme justru dapat memperkaya khazanah budaya lokal. Kebergaman budaya tersebut dapat dijadikan sebagai pemersatu (unity in diversity).
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...